Sesuai dengan judul, pada artikel kali ini saya akan berusaha menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Manusia tercipta dengan akal, pikiran, dan imajinasi yang terus berkembang seiring berjalanya waktu. Hal ini terbukti dari cara hidup manusia yang terus berubah dari waktu ke waktu. Bandingkan cara hidup bangsa Eropa pada abad pertengahan dengan Eropa masa kini. Sangat sedikit kelompok/bangsa yang benar-benar mempertahankan tata cara lama mereka tanpa menambah sesuatu yang baru sampai sekarang.
Perkembangan gaya hidup tentunya sangat berdampak terhadap banyak aspek, salah satunya adalah bahasa. Saya rasa hampir tidak ada bahasa yang tidak memiliki kata baru seiring berkembangnya jaman, kecuali bahasa yang memang sudah tidak dipakai dalam kehidupan sehari-hari saat ini.
Salah satu penyebab berkembangnya bahasa adalah kedatangan penduduk asing. Di Asia timur dan tenggara, yang menjadi pusat perdangangan dan penyebaran agama Islam, Hindu dan Budha pada masa lampau, banyak ditemukan kata serapan dari bahasa Arab dan Sansekerta. Sedangkan penyebaran etnis Tionghoa juga banyak berpengaruh terhadap bahasa di kawasan Asia timur dan tenggara. Bahasa Latin bisa dibilang sebagai dasar bahasa bangsa-bangsa Eropa, terutama Eropa bagian barat dan selatan mengingat kekuasaan Kerajaan Romawi waktu itu.
Bagaimana dengan bahasa Indonesia? Bahasa yang kita pakai sehari-hari dan tentunya menjadi syarat mutlak untuk menjadi seorang Warga Negara Indonesia (WNI). Mari kita pelajari tentang sejarah bahasa nasional kita lebih lanjut.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia (RI). Bahasa Indonesia diresmikan penggunaanya sehari setelah teks Proklamasi dibacakan oleh Bung Karno, bersamaan dengan diberlakukanya konstitusi. Sebelumnya sudah ada penamaan 'Bahasa Indonesia' saat dicanangkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober, 1928.
Seperti yang sudah saya terangkan pada paragraf dua dan tiga, Bahasa Indonesia yang sekarang kita pakai, sudah terlebih dahulu mengalami proses yang begitu panjang. Pada artikel ini, saya akan berusaha menjelaskan sedikit tentang Bahasa Persatuan Republik Indonesia ini.
Bahasa Indonesia merupakan varian dari bahasa Melayu yang berasal dari bahasa Melayu Riau (sekarang wilayah kepulauan Riau).
Aksara pertama dalam bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau Malaya adalah sebutan bagi wilayahnya sebagai sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Kata 'Melayu' atau 'Malayu' awalnya hanya mengacu pada wilayah geografis dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaaan Hindu-Budha yang terletak di Jambi, Sumatera pada abad ke-7. Dalam perkembanganya, penggunaan istilah Melayu mencakup wilayah yang lebih luas dari Kerajaan Melayu, mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau Sumatera disebut Bumi Melayu.
Dalam perkembangannya orang Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia (=Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka ( Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat "e".
Pada abad ke-7 diketahui bahwa Kerajaan Sriwijaya menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kenegaraan yang disebut 'Bahasa Melayu Kuna'. Beberapa prasasti yang ditemukan di pulau Sumatera, Jawa, dan Luzon (Filipina) ditulis dengan bahasa tersebut. Terdapat banyak serapan dari bahasa Sansekerta dalam bahasa tersebut.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai Melayu Klasik yang dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang nantinya berkembang menjadi bahasa Melayu Tinggi. Penggunaan bahasa Melayu Tinggi ini terbatas di kalangan keluarga kerajaan di pulau Jawa, Sumatera, dan Semenanjung Malaya. Seorang penulis sekaligus bendahara Portugis, Tomé Pires mengatakan bahwa ada bahasa yang bisa dimengerti oleh para pedagang di wilayah Jawa dan Sumatera selain dari bahasa setempat.
Pada masa ini juga mulai masuknya kata-kata serapan dari bahasa Arab dan Parsi (bahasa Persia) seiring penyebaran agama Islam sejak abad ke-12. Kata-kata serapan seperti masjid, kitab, dan kursi dari bahasa Arab sudah dipakai. Sedangkan kata-kata serapan dari Parsi misalnya cambuk, saudagar, anggur, dsb.
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa berdampak besar terhadap gaya hidup dan tentunya bahasa para pengguna bahasa Melayu. Di wilayah yang sekarang disebut Malaysia, terdapat lebih banyak kata-kata serapan/pinjaman dari bahasa Inggris seperti imej, hospital, bajet, polis, dsb. Sedangkan di wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Indonesia, lebih banyak kata serapan dari bahasa Belanda dan Portugis seperti buku, kantor, kulkas, asbak, polisi (Belanda) dan almari, gereja, sabun, dadu, arena (Portugis). Inilah yang memulai perpecahan antara bahasa Indonesia dan Malaysia.
Seperti halnya para pendatang Eropa, pendatang dari Cina juga membawa kata-kata baru yang sampai saat ini menjadi kata serapan seperti tauge, cukong, loteng, teko, dsb.
Luasnya wilayah yang menggunakan bahasa Melayu menjadikan bahasa ini sebagai salah satu bahasa terpenting di Asia. Bahasa ini digunakan sebagai bahasa perdangan di berbagai pelabuhan di Nusantara, bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa dan bahasa setempat.
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, bahasa Melayu digunakan untuk membantu administrasi karena banyaknya pribumi yang lemah dalam bahasa Belanda. Standarisasi bahasa pun mulai dilakukan. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah serta diterbitkannya karya sastra berbahasa Melayu.
Pada tahun 1901, Hindia Belanda (Indonesia) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen. Tiga tahun kemudian, Persekutuan Tanah Melayu (Malaysia) mengadopsi ejaan Wilkinson. Disini mulai terlihat perpecahan dalam bentuk baku antar kedua bahasa Melayu tersebut.
28 Oktober 1928, bersamaan dengan Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia secara resmi diumumkan sebagai 'bahasa persatuan bangsa'. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional ini atas usulan Muhammad Yamin. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, beliau mengatakan, "Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."
Sejak diberlakukanya ejaan Van Ophuijsen sampai saat ini, bahasa Indonesia sudah mengalami dua kali perubahan ejaan, yaitu, ejaan Republik (ejaan Soewandi) tahun 1947, dan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) tahun 1972. EYD digunakan juga oleh bahasa Malaysia yang dikenal dengan Ejaan Rumi Bersama (ERB).
Ejaan Van Ophuijsen
Ejaan Republik (ejaan Soewandi)
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Begitulah sejarah bahasa Indonesia yang sampai saat ini terus berkembang. Dari waktu ke waktu, kata serapan dan kata baru pun masuk seiring berkembangnya jaman dan perilaku sosial. Dan ini tidak akan berhenti sampai disini. Seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, manusia akan terus berkembang, begitu juga dengan cara berkomunikasinya. Asalkan tidak terlalu melenceng, perkembangan bahasa adalah sah-sah saja.
BACA JUGA:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar